Baju Seragam Yang Tidak Pernah Dimasukkan


“nggak mau bu…” anak murid laki-laki itu menjawab sambil menutup celananya dan berlari menjauh dari guru relawan #JatimMengajar, ketika diminta memasukkan baju seragamnya ke celana. 
Bagi anak-anak kota yang tidak mau memasukkan bajunya ke dalam celana seragam sekolah, itu bisa jadi sebuah gaya atau bentuk pemberontakan atas aturan kaku persekolahan, dan tentu agar kelihatan lebih mbois. Itu seperti model gaya anak sekolahan tahun 80-an dengan ditambah lengan baju yang dilinting sedikit, sehingga menunjukkan otot bisep yang kelihatan jantan. 

Tetapi hal itu berbeda dengan setiap anak murid laki-laki di Sekolah Dasar Islam Al Fajr yang berada di Desa Mambulu Barat, kecamatan Tambelangan, Kabupaten Sampang. Di sini, Setiap anak murid laki-laki di sekolah ini tidak pernah mau memasukkan bajunya ke dalam celana, bahkan saat upacara hari senin yang mestinya harus tampil rapi dan lengkap dengan sepatu. Sehingga tampak sangat tidak rapi, bahkan kaos rangkapan baju luar kelihatan berlomba berjuntai di bawah.
Anak-anak di Sekolah dasar ini memang terbiasa tidak bersepatu, mereka selalu menggunakan sandal jepit ketika ke sekolah. Bahkan ketika ada bantuan sepatu dari sebuah organisasi yang merasa prihatin terhadap kondisi mereka, tetap saja mereka bersandal jepit ketika kesekolah. Apakah mereka tidak suka sepatu? Bukan. Mereka tetap membawa sepatu ke sekolah, tetapi tidak digunakan sebagai alas kaki. Namun sepatu itu ditenteng.
“Sayang…ini sepatu bagus. Takut kalo digunakan nanti rusak” kata anak-anak itu.
Untuk menuju sekolah SDI Al Fajr, bukanlah hal yang mudah bagi anak-anak ini. Mereka harus melewati jurang yang terhubung dengan jembatan bambu. Hanya itu jalan terdekat. Kalo hujan, perlu ekstra hati-hati. Makanya, lebih baik sepatunya ditenteng saja.

Eminatus Fajris, seorang perempuan yang memiliki kenekatan untuk menjadi relawan guru Jatim Mengajar merasa shock melihat kondisi ini. Dia alumni dari Universitas Muhammadiyah Malang datang dari kota dengan segala ketertiban dan keteraturan sekolah yang selama ini dialami, merasa gelisah terhadap situasi tersebut. Sebagai anak muda, sang relawan ini berkeinginan anak didiknya itu tertib dan rapi.
Tidak hanya baju yang tidak dimasukkan, namun banyak dari mereka menggunakan baju-baju dan celana yang kekecilan sudah tidak pantas lagi untuk mereka. Entahlah, mungkin sudah 3 atau 4 tahun hanya seragam itu yang digunakan ke sekolah.
Maka pada suatu kesempatan, sang Guru relawan ini memaksa anak laki-laki untuk memasukkan bajunya ke celana. Karena kondisi kepepet dan tidak mampu berlari lagi, sang anak terpaksa dengan malu-malu dan kepala menunduk memasukkan bajunya. Dan…. Duerr… sang Guru relawan yang seorang perempuan harus dipaksa memerah pipinya.
Ternyata, setelah baju dimasukkan, terlihatlah resleting celana tidak bisa di sleretkan, dan kelihatanlah sesuatu yang seharusnya tetap ditutupi. Dan itu hampir dialami semua anak murid laki-laki yang tidak mau memasukkan bajunya. Dan bahkan anak-anak perempuan juga memiliki kondisi yang sama.
Akhirnya, Bu Guru relawan ini memahami hal itu. Sudah mau berangkat sekolah saja, sudah merupakan suatu yang luar biasa bagi mereka. Toh yang sekolah bukan bajunya. Tetapi hati dan pikiran anak-anak itu. (Rahadi Paluri)

Disqus Comments
Copyright © 2018 Jatim Mengajar - All Right Reserved
Develop and Design by Ar Royyan Media